Membangun Spirit Kebangkitan Bangsa melalui Industri Hiburan
9 Februari 2014 pukul 20:42
Pernah
menonton Film "My Boss My Hero", GTO, Good Doctor, Bread love and
Dream, The Faith Doctor, The Queen Of Seon Deok, atau My Doughter Seo
Young? itu beberapa dari sekian banyak film yang berkesan dan tak bosan
saya tonton. Walau hanya berangkat dari tema tentang sebuah Profesi dari
mulai tukang Roti hingga Dokter "dibedah" disini, atau kisah legenda
mengenai raja-raja dan kaisar yang kemas dengan tak mengiring penuh
mitos tak masuk akal namun dikemas dengan begitu menarik menjadi dan
sajian film sejarah yang tak bosan untuk disaksikan, juga film tentang
perjuangan seorang guru "membangkitkan" semangat para muridnya yang
dianggap terbelakang dan tak mungkin menjadi berhasil menjadi "mungkin"
jadi orang yang berhasil???. Sayang itu bukanlah film produksi negeri
ini, karena ternyata perjalanan dunia hiburan Indonesia yang dianggap
tengah bangkit tetap belum sampai pada tahap membangun spirit kebangsaan
(terutama sinetron yang setiap hari ditanyangkan pada masyarakat),
meskipun saya tetap bangga bahwa ada beberapa produksi film bermutu yang
juga pernah lahir dari "rahim" negeri ini seperti Laskar Pelangi, Sang
Pemimpi, 99 Cahaya dilangit Eropa dll.
Berangkat pada masa Orde Lama, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959 karena Indonesia yang memang tengah mesra-mesranya dengan Blok Unisoviet hingga pernah tercetus sebuah poros koalisi "Jakarta-Moscow-Peking", melahirkan berbagai butir kebijakan mengenai masa depan negeri ini, termasuk campur tangan pemerintah di dunia Entertaiment yang melarang berbagai hiburan berbau barat, maklum saja pada saat itu dunia seakan-akan tengah ditarik ke dalam pusaran "perang dingin" antara dua raksasa dunia yaitu Amerika dan Unisoviet. makanya tak heran apabila pada saat itu Artis senior Titiek Puspa pernah di tegur oleh Soekarno karena memenuhi permintaan untuk menyanyikan lagu barat, dan bagaimana kemudian Band Legendaris Indonesia Koes Plus pernah masuk dalam lebel hitam karena berani menggunakan alat-alat musik barat dalam pengiring lagu-lagunya seperti Drum, Gitar, Piano/Bass/Keyboard dll, makanya zaman Orde Lama ini cukup saja menyertakan Rebana, Gendang, Kosidah dan alat-alat musik tradisional lainnya untuk meramaikan berbagai acara termasuk hiburan bagi Presiden sendiri. Itu Zaman Soekarno..., Beda lagi dengan Zaman Soeharto yang juga tak luput memberikan aturan ketat dalam dunia hiburan di Indonesia, namun tidak se-ekstrim sebelumnya, pada masa Orde baru ini pemerintah mengeluarkan aturan melarang adanya musik-musik cengeng karena dikhawatirkan akan mengganggu proses pembangunan bangsa terutama moral masyrakat. maklum Presiden Soeharto yang juga dikenal sebagai bapak pembangunan, memang benar-benar memperhatikan hal sekecil apapun demi menjaga stabilitas pembangunan, makanya tak heran jika Betharia Sonata pernah kena "sentilan" karena lagu-lagunya yang terkesan cengeng dan Bang Iwan Fals yang bahkan pernah di"kurung" akibat nyanyiannya yang dianggap berbahaya. Namun dibalik keotoriteran Orde Baru ini saya cukup memuji peran pemerintah dalam mengandalikan hiburan bagi masyaraktnya sehingga jarang sekali kita mendengar berita tentang anak sekolah yang buduh diri karena putus cinta akibat hiburan cengeng yang diperdendangkan, atau kebringasan perilaku Bulying dan geng-geng karena sajian kekerasan dalam film-fillm yang ditayangkan.
Masih segar rasanya dalam ingatan bagaimana anak-anak sekolah tak bosan berdiri didepan kelas kelas untuk melafalkan butir-butir Pancasila maupun deretan nama-nama menteri setiap periodenya hingga doktrin-doktrin penting kenegaraan itu tertanam kuat diluar kepala mereka. dan masih segar pula diingatan bagaimana gencarnya nyanyian-nyanyian yang berisikan semangat gotong royong dan kebanggaan akan identitas kebangsaan seperti lagu, Naik Kereta Api, Cangkul dan lagu "badminton dimana-mana" karena atlet-atlet Bulu tangkis (Badminton) kita yang selalu mendominasi setiap kemenangan begitu diganrungi masyarakat.
Lahirnya masa Reformasi 1998 yang dirasa membawa angin segar termasuk kebebasan berkarya bagi putra-putri bangsa. namun menurut saya kebebasan yang awalnya dipandang mulia ini lama-lama menjadi sebuah kebebasan yang kebablasan, bagaimana tidak? sedih rasanya ketika telinga ini sudah lama sekali tak mendengar anak-anak menyanyi lagu-lagu untuk seusianya dan lebih menyukai lagu-lagu dewasa, atau film-film sinetron yang episodenya panjang-panjang dan memperlihatkan kemewahan yang berlebihan sehingga membuat jurang pemisah antara si miskin dan si kaya semakin dalam, belum lagi pesan moral yang tak tersampaikan dengan baik, guru jadi bahan ledekan dan kekurang ajaran murid-muridnya, orang tua yang "terjajah" oleh tingkah polah anaknya, persaingan dalam berebut pacar sudah seperti persaingan dalam hukum rimba hingga seringkali saya katakan bahwa si malang menjadi seperti orang yang paling malang didunia dan di jahat seperti lebih jahat dari syetan sekalipun.
Iri rasanya dengan kemajuan film-film bangsa lain yang lebih berbobot dan bermutu, Film Dorama (Jepang) yang terkenal dengan pesan-pesan kerja keras, giat belajar, inovasi teknologi hingga peran guru dalam mendongkrak prestasi belajar para muridnya. Mimpi besar tergambarkan dalam dunia Hiburan mereka seperti Mimpi Jepang untuk menjadi peserta Piala Dunia (Sepak Bola) tergambar dalam film karton "Capten Tsubasa" hingga 20 tahun kemudian mimpi itu benar2 terwujud! Jepang masuk manjadi salah satu laga Sepak Bola yang disegani di dunia, atau Film "Astro Boy" yang mendoktrin anak-anak Jepang tentang cita-cita teknologi robot Jepang dimasa depan. Adapula Film Drama Korea yang tengah melejit saat ini, meski tetap tentang dunia cinta namun pesan-pesan moral yang cukup berharga seperti perjuangan hidup, menghormati orang yang tua dan kebanggaan-kebanggaan negeri Gingseng seperti Kuliner, Fashion, Music dan Keindahan alam selalu tayang dalam setiap adegan filmnya, lihat bagaimana mereka begitu memuja keindahan Pulau Jeju, padahal menurut saya ada banyak keindahan alam negeri kita yang jauh lebih indah namun masih "tersembunyi" dibalik kesibukan masyarakatnya yang seakan ternina bobokan oleh sajian hiburan yang alay dan tak bermakna.
Menurut saya, tak ada salahnya apabila saat ini pemerintah turun tangan dalam memberikan "perlindungan" kepada masyarakat sebagai konsumen bebas berbagai tayangan media publik demi mengatasi krisis moral masyarakat kita dari berbagai aspek termasuk yang dapat dijadi "ujung tombak" dalam mengasah informasi, moral, karakter dan pola pikir masyarakatnya. mungkin tidak harus kemudian menjadi membelenggu kebebasan berkarya namun adanya aturan yang jelas tentang karakter hiburan yang nantinya menjadi konsumsi publik (masyarakat). kerena pentingnya media publik ini maka karena kehadiran sebuah media bisa membuat yang salah menjadi benar atau yang benar menjadi salah artinya kedepannya media publik ini haruslah menjadi media yang sehat dan bersifat edukasi bagi masyarakat demi terciptanya mental dan pola fikir masyarakat yang kuat (tidak cengeng/lebay), sehat dan berkarakter.
Berangkat pada masa Orde Lama, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959 karena Indonesia yang memang tengah mesra-mesranya dengan Blok Unisoviet hingga pernah tercetus sebuah poros koalisi "Jakarta-Moscow-Peking", melahirkan berbagai butir kebijakan mengenai masa depan negeri ini, termasuk campur tangan pemerintah di dunia Entertaiment yang melarang berbagai hiburan berbau barat, maklum saja pada saat itu dunia seakan-akan tengah ditarik ke dalam pusaran "perang dingin" antara dua raksasa dunia yaitu Amerika dan Unisoviet. makanya tak heran apabila pada saat itu Artis senior Titiek Puspa pernah di tegur oleh Soekarno karena memenuhi permintaan untuk menyanyikan lagu barat, dan bagaimana kemudian Band Legendaris Indonesia Koes Plus pernah masuk dalam lebel hitam karena berani menggunakan alat-alat musik barat dalam pengiring lagu-lagunya seperti Drum, Gitar, Piano/Bass/Keyboard dll, makanya zaman Orde Lama ini cukup saja menyertakan Rebana, Gendang, Kosidah dan alat-alat musik tradisional lainnya untuk meramaikan berbagai acara termasuk hiburan bagi Presiden sendiri. Itu Zaman Soekarno..., Beda lagi dengan Zaman Soeharto yang juga tak luput memberikan aturan ketat dalam dunia hiburan di Indonesia, namun tidak se-ekstrim sebelumnya, pada masa Orde baru ini pemerintah mengeluarkan aturan melarang adanya musik-musik cengeng karena dikhawatirkan akan mengganggu proses pembangunan bangsa terutama moral masyrakat. maklum Presiden Soeharto yang juga dikenal sebagai bapak pembangunan, memang benar-benar memperhatikan hal sekecil apapun demi menjaga stabilitas pembangunan, makanya tak heran jika Betharia Sonata pernah kena "sentilan" karena lagu-lagunya yang terkesan cengeng dan Bang Iwan Fals yang bahkan pernah di"kurung" akibat nyanyiannya yang dianggap berbahaya. Namun dibalik keotoriteran Orde Baru ini saya cukup memuji peran pemerintah dalam mengandalikan hiburan bagi masyaraktnya sehingga jarang sekali kita mendengar berita tentang anak sekolah yang buduh diri karena putus cinta akibat hiburan cengeng yang diperdendangkan, atau kebringasan perilaku Bulying dan geng-geng karena sajian kekerasan dalam film-fillm yang ditayangkan.
Masih segar rasanya dalam ingatan bagaimana anak-anak sekolah tak bosan berdiri didepan kelas kelas untuk melafalkan butir-butir Pancasila maupun deretan nama-nama menteri setiap periodenya hingga doktrin-doktrin penting kenegaraan itu tertanam kuat diluar kepala mereka. dan masih segar pula diingatan bagaimana gencarnya nyanyian-nyanyian yang berisikan semangat gotong royong dan kebanggaan akan identitas kebangsaan seperti lagu, Naik Kereta Api, Cangkul dan lagu "badminton dimana-mana" karena atlet-atlet Bulu tangkis (Badminton) kita yang selalu mendominasi setiap kemenangan begitu diganrungi masyarakat.
Lahirnya masa Reformasi 1998 yang dirasa membawa angin segar termasuk kebebasan berkarya bagi putra-putri bangsa. namun menurut saya kebebasan yang awalnya dipandang mulia ini lama-lama menjadi sebuah kebebasan yang kebablasan, bagaimana tidak? sedih rasanya ketika telinga ini sudah lama sekali tak mendengar anak-anak menyanyi lagu-lagu untuk seusianya dan lebih menyukai lagu-lagu dewasa, atau film-film sinetron yang episodenya panjang-panjang dan memperlihatkan kemewahan yang berlebihan sehingga membuat jurang pemisah antara si miskin dan si kaya semakin dalam, belum lagi pesan moral yang tak tersampaikan dengan baik, guru jadi bahan ledekan dan kekurang ajaran murid-muridnya, orang tua yang "terjajah" oleh tingkah polah anaknya, persaingan dalam berebut pacar sudah seperti persaingan dalam hukum rimba hingga seringkali saya katakan bahwa si malang menjadi seperti orang yang paling malang didunia dan di jahat seperti lebih jahat dari syetan sekalipun.
Iri rasanya dengan kemajuan film-film bangsa lain yang lebih berbobot dan bermutu, Film Dorama (Jepang) yang terkenal dengan pesan-pesan kerja keras, giat belajar, inovasi teknologi hingga peran guru dalam mendongkrak prestasi belajar para muridnya. Mimpi besar tergambarkan dalam dunia Hiburan mereka seperti Mimpi Jepang untuk menjadi peserta Piala Dunia (Sepak Bola) tergambar dalam film karton "Capten Tsubasa" hingga 20 tahun kemudian mimpi itu benar2 terwujud! Jepang masuk manjadi salah satu laga Sepak Bola yang disegani di dunia, atau Film "Astro Boy" yang mendoktrin anak-anak Jepang tentang cita-cita teknologi robot Jepang dimasa depan. Adapula Film Drama Korea yang tengah melejit saat ini, meski tetap tentang dunia cinta namun pesan-pesan moral yang cukup berharga seperti perjuangan hidup, menghormati orang yang tua dan kebanggaan-kebanggaan negeri Gingseng seperti Kuliner, Fashion, Music dan Keindahan alam selalu tayang dalam setiap adegan filmnya, lihat bagaimana mereka begitu memuja keindahan Pulau Jeju, padahal menurut saya ada banyak keindahan alam negeri kita yang jauh lebih indah namun masih "tersembunyi" dibalik kesibukan masyarakatnya yang seakan ternina bobokan oleh sajian hiburan yang alay dan tak bermakna.
Menurut saya, tak ada salahnya apabila saat ini pemerintah turun tangan dalam memberikan "perlindungan" kepada masyarakat sebagai konsumen bebas berbagai tayangan media publik demi mengatasi krisis moral masyarakat kita dari berbagai aspek termasuk yang dapat dijadi "ujung tombak" dalam mengasah informasi, moral, karakter dan pola pikir masyarakatnya. mungkin tidak harus kemudian menjadi membelenggu kebebasan berkarya namun adanya aturan yang jelas tentang karakter hiburan yang nantinya menjadi konsumsi publik (masyarakat). kerena pentingnya media publik ini maka karena kehadiran sebuah media bisa membuat yang salah menjadi benar atau yang benar menjadi salah artinya kedepannya media publik ini haruslah menjadi media yang sehat dan bersifat edukasi bagi masyarakat demi terciptanya mental dan pola fikir masyarakat yang kuat (tidak cengeng/lebay), sehat dan berkarakter.
No comments:
Post a Comment