Wednesday, 25 June 2014

Edukasi Politik untuk Publik

Edukasi Politik untuk Publik

1 Maret 2014 pukul 21:46
 
Mungkin tak banyak yang tahu bahwa ketika Khalifah Ali terluka parah akibat perseteruan politik dengan Muawiyah kala itu, tak dinyana ternyata Muawiyah segera datang menjenguk, mereka berdua kemudian berbicara dari hati ke hati, mentabayunkan permasalahan yang telah berkembang begitu parah, mereka saling memohon maaf, menyingkirkan prasangka yang akan memperburuk kondisi dan menimbulkan kekotoran penyakit hati, hingga kemudian Ali wafat dan Muawiyah pun menangis karena telah perginya sahabat terbaik yang sama-sama dididik langsung oleh Rosululloh sekaligun pemimpin yang tangguh namun bijaksana.
Atau peristiwa "pemecatan" tiba-tiba yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin khattab kepada Panglima perang Islam yang tak pernah terkalahkan, Khalid Ibn Walid ra ketika musuh dari Romawi sudah sangat siap untuk menyerang, namun dengan ketenangan hati dan keikhlasan berjuang berita itu sama sekali tak membuat Khalid goyah atau marah, sehingga dapat menurunkan mental para tentara, Khalid tetap berperang dengan gagah berani hingga ia memenangkan perang yang Monumental tersebuat, Perang Yarkmuk. Setelah menghadap Khalifah barulah Khalid tahu bahwa, Umar tetap sangat mencintainya sebagai saudara dan amat berterima kasih atas semua jasa, namun alasan Khalifah melakukan pemecatan itu tidak lain agar sosok Khalid yang begitu hebat tidak menjadi sebuah pengkultusan dan menggeserkan sosok Rosululloh. Khalid menerima apapun keputusan Khalifah (sebagai pemimpinnya) tanpa marasa sakit hati atau mendendam hingga kemudian dia meninggal karena tua bukan di medan perang (seperti yang ia cita-citakan) namun diatas kasur yang hangat.
Begitu pula dengan Mohammad Natsir dan DN. Aidit, dua tokoh besar di Indonesia yang memiliki ideologi sangat bersembarangan, dua lawan politik panas dalam setiap sidang konstituante, namun tetap bisa duduk bersama sambil minum secangkir teh, menyingkirkan dan melepaskan segala formalitas mereka dalam urusan perpolitikan, berbincang bahkan saling menanyakan kabar keluarga masing-masing dengan tulus bukan sekedar basa-basi,...
Akh, mungkin sosok-sosok Negarawan yang seperti itu takkan pernah ada lagi, jikapun ada pastilah amat langka, mereka adalah negarawan-negarawan yang matang, yang siap mendidik dan mencerdaskan rakyatnya dengan pola komunikasi dan etika politik yang elegan dan santun, terlepas dari se-kontroversial apa sosok dan pemikiran yang menjadi haluannya. namun saya, sebagai rakyat...rindu akan pemimpin yang menyayangi rakyatnya seperti seorang ibu menyanyangi anaknya...seperti yang Rosululloh katakan :

"Sebaik-baiknya pemimpin kalian, adalah yang mencintai kalian, dan kalianpun mencintai mereka. Yang kalian mendoakan mereka, dan merekapun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruknya pemimpin adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian. yang melaknat kalian, dan kalian pun melaknat mereka."

Kadang saya merasa prihatin  apabila menyaksikan para pemimpin yang seharusnya menyingkirkan semua pertikaian yang wajar (pasti) adanya namun yang ada adalah mereka malah mempertontonkan itu semua, entah settingan untuk menaikkan elektabilitas semata atau memang mereka adalah pribadi-pribadi yang seperti itu. Tak bisakah mereka layaknya seorang ibu dan ayah yang meskipun tengah menghadapi kerumitan hubungan atau pertengakaran sekalipun namun masih sanggup "berpura-pura" harmonis didepan anak-anaknya, bukan bermaksud menipu, namun semua itu demi mendidik dan menjaga Psikologis si buah hati.
Mungkin masih kuat diingatan kita, pada pemilu 2004 lalu, ketika kemenangan presiden diraih oleh sosok yang tergambarkan "teraniaya" , dan ketika Presiden terpilih tersebut hendak dilantik namun tanpa kehadiran Presiden sebelumnya yang juga menjadi Pimpinan salah satu Partai Politik karena "panasnya" hubungan dua pribadi tersebut. ini seperti memberikan pola pendidikan politik yang kurang baik pada masyarakat, rakyat kita seperti diajarkan untuk bersikap sedikit mendendam dan tinggi gengsi, padahal alangkah lebih indahnya apabila rakyat kemudian menyaksikan para pemimpin tersebut mau legowo dan nrimo, mengesampingkan semua permasalahan dan persaingan, ketika rakyat sudah memilih dan siapa telah dipilih maka saat itulah para pemimpin tersebut berjalan beriringan, mengedepankan kepentingan rakyat bukan politik atau bahkan partai, seperti yang dituturkan oleh Prof. DR. dr HM Syamsulhadi, SP KJ, selaku Rektor UNS Surakarta dalam wawancara di majalah Tarbawi Edisi 98 " Ya, demikianlah. Dalam acara buka bersama yang bersamaan dengan pelantikan SBY itu, Megawati berbicara didepann kader-kadernya. Mega bertanya, apakah saudara-saudara siap untuk merebut kembali, dijawab siap. Rakyat dibegitukan ikut saja. kok begitu, tapi itu haknya Megawati. Umpama Megawati datang, apalagi berjabat tangan sama SBY, wah itu manuver Megawati yang paling baik. Sebenarnya sikap Megawati itu bisa mendidik rakyat untuk bersikap legowo. Kemudian seharusnya dia bilang mari kita introspeksi, agar pemilu yang akan datang kekalahan tak terulang lagi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya." (Tarbawi, 25-26 :2004).
Apalagi meskipun pemilihan Presiden berhasil dimenangkan oleh SBY namun ternyata untuk kemenangan di Parlemen, kubu Mega-lah yang menang (atau mendominasi).

Kemudian baru-baru ini, pada awal tahun 2014, di tahun mulai panasnya perpolitikan indonesia, terjadilah kasus Slek-nya Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini dan Wakil-nya Wisnu yang meskipun sama-sama berasal dari partai politik yang sama namun tetap mempertontonkan "dinginnya" hubungan pasangan pemimpin tersebut, yah terlepas dari segala prestasi Risma sebagai Walikota namun kerancuan hubungan dari keduanya menunjukkan bahwa mereka belum menjadi pemimpin yang matang dan dewasa.
Saya sebagai rakyat lelah, terus menerus menyaksikan ketidakdewasaan dari para pemimpin dan elit politik yang selama ini terjadi, yang tanpa mereka sadari "sakitnya" para elit itu dapat menular pada rakyat. rakyat kini menjadi cendrung arogan, dan bukan lagi merasa skeptis tapi sudah naik hingga pada level apatis bahkan paranoid yang merupakan sebuah gangguan kejiwaan yang tergolong berat dan sulit untuk disembuhkan.
Semoga pengharapan dari seorang rakyat yang mungkin tak mengerti apalagi paham tentang "Politik berbangsa dan bernegara" ini dapat sedikit memberikan ruang kesejukkan diantara panas dan hampanya atmosfer keteladan demi melahirkan sosok pemimpin yang dirindukan dapat lahir dari rahim suci ibu pertiwi.

Selayaknya Pemimpin negeri ini bisa meneladani sebagaimana yang telah dilakukan oleh dua Umar..."Semoga Kelak ada diantara keturunan kami yang sanggup membanjiri muka bumi ini dengan keadilan dan kesejahteraan " (Doa Umar Ibn Khattab). Wallohualam.

No comments:

Post a Comment

Berakhirnya masa Pemerintahan Orde Baru

Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto#/media/Berkas:Jenderal_TNI_Soeharto.png ...