Edukasi Politik untuk Publik
1 Maret 2014 pukul 21:46
Mungkin
tak banyak yang tahu bahwa ketika Khalifah Ali terluka parah akibat
perseteruan politik dengan Muawiyah kala itu, tak dinyana ternyata
Muawiyah segera datang menjenguk, mereka berdua kemudian berbicara dari
hati ke hati, mentabayunkan permasalahan yang telah berkembang begitu
parah, mereka saling memohon maaf, menyingkirkan prasangka yang akan
memperburuk kondisi dan menimbulkan kekotoran penyakit hati, hingga
kemudian Ali wafat dan Muawiyah pun menangis karena telah perginya
sahabat terbaik yang sama-sama dididik langsung oleh Rosululloh
sekaligun pemimpin yang tangguh namun bijaksana.
Atau peristiwa
"pemecatan" tiba-tiba yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin khattab
kepada Panglima perang Islam yang tak pernah terkalahkan, Khalid Ibn
Walid ra ketika musuh dari Romawi sudah sangat siap untuk menyerang,
namun dengan ketenangan hati dan keikhlasan berjuang berita itu sama
sekali tak membuat Khalid goyah atau marah, sehingga dapat menurunkan
mental para tentara, Khalid tetap berperang dengan gagah berani hingga
ia memenangkan perang yang Monumental tersebuat, Perang Yarkmuk. Setelah
menghadap Khalifah barulah Khalid tahu bahwa, Umar tetap sangat
mencintainya sebagai saudara dan amat berterima kasih atas semua jasa,
namun alasan Khalifah melakukan pemecatan itu tidak lain agar sosok
Khalid yang begitu hebat tidak menjadi sebuah pengkultusan dan
menggeserkan sosok Rosululloh. Khalid menerima apapun keputusan Khalifah
(sebagai pemimpinnya) tanpa marasa sakit hati atau mendendam hingga
kemudian dia meninggal karena tua bukan di medan perang (seperti yang ia
cita-citakan) namun diatas kasur yang hangat.
Begitu pula dengan
Mohammad Natsir dan DN. Aidit, dua tokoh besar di Indonesia yang
memiliki ideologi sangat bersembarangan, dua lawan politik panas dalam
setiap sidang konstituante, namun tetap bisa duduk bersama sambil minum
secangkir teh, menyingkirkan dan melepaskan segala formalitas mereka
dalam urusan perpolitikan, berbincang bahkan saling menanyakan kabar
keluarga masing-masing dengan tulus bukan sekedar basa-basi,...
Akh,
mungkin sosok-sosok Negarawan yang seperti itu takkan pernah ada lagi,
jikapun ada pastilah amat langka, mereka adalah negarawan-negarawan yang
matang, yang siap mendidik dan mencerdaskan rakyatnya dengan pola
komunikasi dan etika politik yang elegan dan santun, terlepas dari
se-kontroversial apa sosok dan pemikiran yang menjadi haluannya. namun
saya, sebagai rakyat...rindu akan pemimpin yang menyayangi rakyatnya
seperti seorang ibu menyanyangi anaknya...seperti yang Rosululloh
katakan :
"Sebaik-baiknya pemimpin kalian,
adalah yang mencintai kalian, dan kalianpun mencintai mereka. Yang
kalian mendoakan mereka, dan merekapun mendoakan kalian. Dan
seburuk-buruknya pemimpin adalah yang kalian benci dan mereka pun
membenci kalian. yang melaknat kalian, dan kalian pun melaknat mereka."
Kadang saya merasa prihatin apabila menyaksikan para pemimpin yang seharusnya menyingkirkan semua pertikaian yang wajar (
pasti) adanya namun yang ada adalah mereka malah mempertontonkan itu semua, entah
settingan untuk menaikkan
elektabilitas
semata atau memang mereka adalah pribadi-pribadi yang seperti itu. Tak
bisakah mereka layaknya seorang ibu dan ayah yang meskipun tengah
menghadapi kerumitan hubungan atau pertengakaran sekalipun namun masih
sanggup "berpura-pura" harmonis didepan anak-anaknya, bukan bermaksud
menipu, namun semua itu demi mendidik dan menjaga Psikologis si buah
hati.
Mungkin masih kuat diingatan kita, pada pemilu 2004 lalu, ketika kemenangan presiden diraih oleh sosok yang tergambarkan "
teraniaya"
, dan ketika Presiden terpilih tersebut hendak dilantik namun tanpa
kehadiran Presiden sebelumnya yang juga menjadi Pimpinan salah satu
Partai Politik karena "panasnya" hubungan dua pribadi tersebut. ini
seperti memberikan pola pendidikan politik yang kurang baik pada
masyarakat, rakyat kita seperti diajarkan untuk bersikap sedikit
mendendam dan tinggi gengsi, padahal alangkah lebih indahnya apabila
rakyat kemudian menyaksikan para pemimpin tersebut mau
legowo dan
nrimo,
mengesampingkan semua permasalahan dan persaingan, ketika rakyat sudah
memilih dan siapa telah dipilih maka saat itulah para pemimpin tersebut
berjalan beriringan, mengedepankan kepentingan rakyat bukan politik atau
bahkan partai, seperti yang dituturkan oleh Prof. DR. dr HM
Syamsulhadi, SP KJ, selaku Rektor UNS Surakarta dalam wawancara di
majalah Tarbawi Edisi 98 " Ya, demikianlah. Dalam acara buka bersama
yang bersamaan dengan pelantikan SBY itu, Megawati berbicara didepann
kader-kadernya. Mega bertanya, apakah saudara-saudara siap untuk merebut
kembali, dijawab siap. Rakyat dibegitukan ikut saja.
kok
begitu, tapi itu haknya Megawati. Umpama Megawati datang, apalagi
berjabat tangan sama SBY, wah itu manuver Megawati yang paling baik.
Sebenarnya sikap Megawati itu bisa mendidik rakyat untuk bersikap
legowo.
Kemudian seharusnya dia bilang mari kita introspeksi, agar pemilu yang
akan datang kekalahan tak terulang lagi. Tapi yang terjadi justru
sebaliknya." (
Tarbawi, 25-26 :2004).
Apalagi meskipun
pemilihan Presiden berhasil dimenangkan oleh SBY namun ternyata untuk
kemenangan di Parlemen, kubu Mega-lah yang menang (atau mendominasi).
Kemudian baru-baru ini, pada awal tahun 2014, di tahun mulai panasnya perpolitikan indonesia, terjadilah kasus
Slek-nya
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini dan Wakil-nya Wisnu yang meskipun
sama-sama berasal dari partai politik yang sama namun tetap
mempertontonkan "dinginnya" hubungan pasangan pemimpin tersebut,
yah
terlepas dari segala prestasi Risma sebagai Walikota namun kerancuan
hubungan dari keduanya menunjukkan bahwa mereka belum menjadi pemimpin
yang matang dan dewasa.
Saya sebagai rakyat lelah, terus menerus
menyaksikan ketidakdewasaan dari para pemimpin dan elit politik yang
selama ini terjadi, yang tanpa mereka sadari "
sakitnya" para
elit itu dapat menular pada rakyat. rakyat kini menjadi cendrung arogan,
dan bukan lagi merasa skeptis tapi sudah naik hingga pada level apatis
bahkan paranoid yang merupakan sebuah gangguan kejiwaan yang tergolong
berat dan sulit untuk disembuhkan.
Semoga pengharapan dari seorang
rakyat yang mungkin tak mengerti apalagi paham tentang "Politik
berbangsa dan bernegara" ini dapat sedikit memberikan ruang kesejukkan
diantara panas dan hampanya atmosfer keteladan demi melahirkan sosok
pemimpin yang dirindukan dapat lahir dari rahim suci ibu pertiwi.
Selayaknya Pemimpin negeri ini bisa meneladani sebagaimana yang telah dilakukan oleh dua Umar..."
Semoga Kelak ada diantara keturunan kami yang sanggup membanjiri muka bumi ini dengan keadilan dan kesejahteraan " (Doa Umar Ibn Khattab).
Wallohualam.